Penulis:Mimi Salombre Leasiwal
Maluku merupakan 1 dari 37 provinsi yang ada di Indonesia, tepatnya pada bagian timur. Secara geografis Provinsi Maluku terletak pada koordinat 0o – 9 o LS dan 124o – 136o BT, yang berbatasan pada bagian utaranya dengan Samudera Pasifik, bagian timur dengan Laut Halmahera, bagian barat dengan Laut Maluku serta bagian selatan dengan Laut Seram (Ajim, 2016).
Provinsi Maluku dikenal sebagai Provinsi Seribu Pulau, melansir dari Badan Pusat Statistik (2021) hal itu dikarenakan jumlah pulaunya yang mencapai 1337 pulau, serta luas wilayahnya sebesar 46.914,03 km2 . Dengan begitu banyak pulau serta diimbangi luasnya perairan yang ada, maka menjadikan Provinsi Maluku memiliki begitu besar potensi kemaritiman. Jika ditinjau dari sisi geologinya, maka kondisi geologi dari kepulauan Maluku begitu kompleks, hal itu dikarenakan pembentukannya yang dipengaruhi oleh tumbukan 3 lempeng besar dunia yaitu Lempeng Pasifik, Lempeng Eurasia dan Lempeng Indo-Australia (Lune, 2014).
Kondisi tersebut kemudian menyebabkan Provinsi Maluku memiliki lautan yang begitu dalam, dan bentang alam dengan topografi relatif terjal. Kota Ambon merupakan ibu kota wilayah dari Provinsi Maluku, tepatnya berada di pulau Ambon. Pada pulau Ambon berdapat berbagai morfologi, mulai dari perbukitan, lembah, sungai hingga teluk. Sungai merupakan suatu saluran terbuka dan secara alami terbentuk pada permukaan bumi, juga menampung dan mengalirkan air dari hulu ke hilir ataupun ke muara (Junaidi, 2014).
Tak hanya mengalirkan air, namun sungai juga mengalirkan sedimen yang masuk ke dalamnya. Sedimen merupakan endapan yang terbentuk akibat dari proses mekanis berupa erosi dan transportasi oleh air, angin maupun proses es dan kemudian mengalami pengendapan yang disebut sedimentasi (Nugroho, 2019). Ciri dari pulau Ambon yang terlihat secara jelas adalah morfologinya berupa teluk, namun luas dari teluk tersebut terancam mengecil dan kemudian membentuk danau. Hal itu diakibatkan oleh besarnya laju sedimentasi pada muara sungai Wai Ruhu yang menyebabkan bagian muaranya kian mengalami pendangkalan.
Pulau Ambon merupakan pulau yang diapit oleh dua laut dalam, yakni Laut Banda dan Laut Seram serta memiliki morfologi berupa teluk dengan garis pantai sepanjang 102,3 km, keberadaan dari teluk tersebut terbagi oleh dua ambang sempit yang menjadikannya sebagai Teluk Ambon Luar (TAL) dan Teluk Ambon Dalam (TAD) (Ondara, dkk. 2017). Pada batas antara kedua teluk tersebut, terdapat delta yang dihasilkan oleh pengendapan sedimen dari sungai Wai Ruhu. Melansir dari Badan Pusat Statistik Kota Ambon (2020), sungai Wai Ruhu merupakan sungai terpanjang di Kota Ambon yakni sepanjang 12,7 km dan tepatnya berada pada Desa Galala. Sungai Wai Ruhu memiliki tipe berupa sungai meander sehingga alirannya dengan mudah dapat berpindah-pindah secara lateral.
Delta sendiri merupakan lingkungan hasil pengendapan sedimen, yang bentuknya menyerupai segitiga serta terdapat lingkungan transisional, hal itu ditandai dengan adanya material sedimen yang tertransport melalui aliran sungai tersebut dan kemudian diendapkan pada kondisi di bawah air, air tenang dan di darat (Nugroho, 2019). Delta hasil pengendapan sedimen dari sungai Wai Ruhu memiliki pelamparan yang cukup luas dan tebal, serta terus mengalami pendangkalan. Diketahui bawah rata-rata debit aliran sungai pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Wai Ruhu tahun 2018 sebesar 1,24 m3 /s, serta rata-rata debit bed load (sedimen dasar) sebesar 6,27 kg/s (Souisa, dkk. 2018). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat diketahui bahwa debit sedimen dasarnya cukup besar, belum lagi ditambah sedimen melayang, sehingga jika ditotalkan maka sedimen yang diendapkan akan sangat mempengaruhi ketebalan pengendapannya. Seiring berjalannya waktu, ketebalan dari delta hasil pengendapan akan semakin bertambah, dan jika mencapai permukaan laut maka kemudian akan tererosi dan pelamparannya akan semakin luas.
Jika kondisi tersebut tidak segera diatasi, maka kemungkinan yang akan muncul adalah terjadinya banjir bandang, longsor bawah laut, dan kemungkinan terburuk adalah terhubungnya delta sungai Wai Ruhu dengan kaki lereng bawah laut pada garis pantai Rumahtiga, hal itu sangatlah tidak menguntungkan karena jika sampai terhubung dan terjadi pendangkalan terus menerus, maka akan merubah Teluk Ambon Dalam menjadi danau, sehingga akan berdampak besar bagi transportasi laut yang menghubungkan Teluk Ambon Luar dengan Teluk Ambon Dalam (Souisa, dkk. 2018). Tidak perlu menunggu hingga berpuluh-puluh tahun kedepan, namun dampak dari pendangkalan delta sungai Wai Ruhu dapat kita lihat saat ini, yakni ketika hujan deras di mana terjadinya banjir bandang di sekitaran DAS Wai Ruhu, Desa Galala. Jika tidak diatasi dengan baik, maka dapat dipastikan kemungkinan terburuk dari pendangkalan delta tersebut akan terjadi. Berdasarkan fakta tersebut, maka perlu adanya kesadaran sedini mungkin dan penanganan sebelum semuanya terlambat. Adapun solusi terkait dengan kondisi tersebut dapat dilakukan pada DAS, di mana menurut Wijayanto, dkk (2021), DAS memiliki fungsi sebagai daerah konservasi yang membutuhkan pengelolaan, agar dapat mempertahankan kondisi lingkungan serta tidak mengalami degradasi. Perlu dilakukan penanganan pada daerah daratan dikarenakan semua material sedimen yang terangkut oleh sungai Wai Ruhu berasal pula dari daratan, namun diendapkan di perairan muara sungainya. Solusi tersebut yakni dengan cara vegetatif, di mana dilakukannya penanaman pohon pada DAS.
Adapun pohon yang ditanam haruslah memiliki akar yang dalam agar dapat menahan tanah sehingga tidak mengalami erosi secara intens, pohon tersebut juga harus memiliki masa yang ringan agar tidak mudah roboh, dan bertajuk tinggi untuk dapat memecah air hujan sehingga debit air yang sampai di tanah tidak besar dan memicu erosi (Efendi, 2000). Hal tersebut dapat diprogramkan di mana setidaknya 1 warga di Desa Galala menanam 1 pohon pada DAS Wai Ruhu. Selain cara vegetasi, pengendalian sedimen juga dapat dilakukan secara mekanis di mana menurut Murod (2002), terdapat beberapa jenis bangunan pengendalian sedimen, salah satunya berupa bendungan sabo yakni bendungan yang difungsikan untuk menahan sedimen serta dibangun pada lembah sungai agar dapat menampung, manahan dan mengendalikan sedimen sehingga jumlah sedimen yang mengalir akan jauh lebih kecil. Dengan dibangunnya satu atau beberapa bendungan sabo, maka tentunya sedimen dasar dan sebagian sedimen melayang akan tertahan pada bendungan, sehingga sedimen yang diendapkan pada delta di muara sungai Wai Ruhu akan jauh lebih kecil.
Bendungan sabo yang dibangun pun perlu dilakukan pengangkatan endapan sedimen secara berkala agar tetap dapat menampung sedimen secara maksimal. Berdasarkan paparan di atas, maka dapat diketahui bahwa penanganan terhadap sedimentasi di delta muara sungai Wai Ruhu begitu penting, walaupun lautan pada Teluk Ambon cukup dalam, namun seiring berjalannya waktu tidak menutup kemungkinan akan terjadinya dampak terburuk yang dihasilkan oleh sedimentasinya, yaitu terganggu hingga terhentinya transportasi laut yang menghubungkan Teluk Ambon Dalam (TAD) dengan Teluk Ambon Luar (TAL) dikarenakan TAD telah berubah menjadi danau. Adapun solusi yang dapat dilakukan adalah melalui cara vegetasi dengan menanam pohon di DAS, yakni setiap warga Desa Galala menanam satu pohon, serta cara mekanis berupa pembangunan satu bahkan beberapa bendungan sabo pada sungai Wai Ruhu. Jika kedua cara tersebut dilakukan, maka dapat dipastikan bahwa laju pengendapan sedimen pada delta di muara sungai Wai Ruhu, Desa Galala, Kota Ambon akan sangat kecil sehingga kecil pula bahkan tidak akan memicu terbentuknya danau. Hal ini mungkin dapat dianggap sepele untuk sekarang, namun kedepannya akan sangat berdampak bagi kekayaan maritim, transportasi laut di Teluk Ambon, serta masalah lingkungan seperti banjir dan masih banyak lagi. Oleh karena itu lebih baik kita melakukan sedikit usaha saat ini, dari pada harus menyesal di kemudian hari.
Posting Komentar untuk "Satu Pohon dan Satu Bendungan Sabo demi Keberlanjutan Teluk Ambon"