Kajian Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Pattimura |
DPMFatekUnpatti-Saat ini hangat diperbicangkan publik terkait kebijakan baru Permendikbudristek No.53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, yang mana kebijakan ini tidak lagi menjadikan skripsi sebagai syarat wajib bagi mahasiswa S1 atau D4 bisa lulus.
Dengan
begitu mahasiswa bisa lulus tanpa skripsi sesuai dengan regulasi baru ini. Akan
tetapi, syaratnya prodi mahasiswa yang bersangkutan harus menerapkan kurikulum berbasis
pada proyek maupun bentuk lain yang sudah sejenis.
Maka
dari itu, mahasiswa dapat mengganti tugas akhir berupa skripsi dalam bentuk lain
misalkan prototype, proyek maupaun bentuk sejenis lainnya.
Bukan
hanya itu menariknya tugas akhir ini juga dapat dikerjakan secara individu
maupun berkelompok.
Kebijakan ini kemudian
dikritik oleh Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas Pattimura yang menganggap
kebijakan Mas Menteri tersebut tidak efektif. Dirilis dari Tribunambon.com Maulana Z. Notanubun, Ketua DPM Universitas
Pattimura menilai kebijakan ini tidak efektif diterapkan di Unpatti dengan
beberapa alasan.
Pertama, ia menganggap
perguruan tinggi harus memiliki standar kelulusan yang sama agar menjaga
keseimbangan akademik mahasiswa.
Lantaran menurutnya di
Unpatti memiliki banyak prodi sehingga akan menimbulkan polemik jika adanya
standarisasi ujian akhir.
"Contohnya begini, tugas akhir yang akan diusulkan bisa saja berbentuk proyek. Nah, proyek yang diberikan akan mengikuti latar belakang program studi. Berbeda dengan penulisan skripsi. Skripsi dikatakan efektif karena semua mahasiswa akan melakukan penulisan dengan kerangka dan tingkat kesulitan yang sama, hanya saja pembahasan yang terjadi dia berpulang sesuai basic ilmu. Hal itulah yang memberikan tingkat kesulitan dan kemudahan setara bagi tiap mahasiswa di Universitas Pattimura", ujarnya dikutip dari Tribunambon.com (1/9/2023).
Selain
itu, Sekretaris DPM Unpatti, Essmerallda R. Pasanea
menambahkan bahwasanya kurikulum belajar selama ini penerapannya relevan dengan
penulisan skripsi.
Ia menganggap kurikulum belajar di Universitas Pattimura telah
menyediakan berbagai mata kuliah yang sangat relevan dengan penulisan skripsi.
Menurutnya, dengan menjadikan skripsi sebagai standar kelulusan maka para
lulusan nanti mempunyai jejak penulisan ilmiah.
"Artinya, semua mahasiswa mendapat bekal yang sama
dalam penulisan skripsi. Terlepas dari pada hal ini, menjadi seorang sarjana
harus memiliki jejak penulisan yang berkerangka ilmiah", jelas Pasanea.
Sekretaris DPMU dalam wawancaranya yang dimuat di Tribunambon.com mengatakan jika hanya proyek
jurnal dan lainnya, mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) atau lembaga-lembaga
mahasiswa mampu membuat itu tanpa harus menunggu masa akhir studi.
Tanggapan DPM
Fatek Unpatti
Memang
banyak sekali yang kegocek oleh statement Mas Menteri ini, salah satunya adalah
Ketua dan Sekretaris DPMU Pattimura. Mereka tidak membaca dan memahami dengan
baik apa yang dikatakan Menteri Pendidikan.
Padahal
kata Mas Menteri, tugas akhir bisa berbentuk macam-macam yakni prototype, proyek
ataupun berbentuk lainnya. Tidak hanya skripsi saja. Jadi, mahasiswa nantinya
diberi pilihan mau lulus dengan cara mana.
Namun
menurut Ketua DPMU, kebijakan ini tidak cocok diterapkan di Unpatti dengan
alasan standarisasi pendidikan harus seragam karena Unpatti memiliki banyak
prodi. Malahan dalam menentukan standarisasi pendidikan di masing-masing prodi
tidak bisa diseragamkan seperti itu. Namun, disesuaikan dengan keahlian dan
kebijakan masing-masing prodi.
DPM Fatek menilai dengan adanya kebijakan ini
mahasiswa bisa menyelesaikan studi sesuai dengan passion dan keahlian mereka.
Dengan begitu, lulusan perguruan tinggi akan lebih banyak berinovasi dan
menghasilkan karya-karya berkualitas yang dapat dikembangkan lebih lanjut untuk
masyarakat sesuai disiplin ilmu mereka.
Standarisasi pendidikan memang seharusnya
tidak boleh diseragamkan dengan skripsi. Hal ini sangat bertentangan dengan konsep
merdeka belajar yang memberikan kebebasan untuk mahasiswa maupun perguruan
tinggi dalam berinovasi.
Bukan berarti skripsi tidak lagi digunakan
sebagai standar kelulusan, akan tetapi ini dikembalikan ke prodi masing-masing.
Dengan begitu setiap kepala prodi memiliki kemerdekaan tersendiri dalam hal
penentuan standar capaian kelulusan mahasiswa mereka.
Bukan hanya itu, mahasiswa juga bisa memilih
tugas akhir seperti apa yang akan dia gunakan untuk syarat kelulusan.
Misalkan, bisa memilih prototype, proyek atau
kegiatan-kegiatan tertentu yang memang disejajarkan dengan tugas akhir yang punya
kualitas dan sesuai dengan prodi mahasiswa terkait.
Menurut Evert Sopacua, pengurus DPM Fatek
Komisi Minat Bakat, Ketua dan Sekretaris DPMU rupanya kurang literasi dan tidak
paham substansi dari konsep merdeka belajar.
“Saya rasa Ketua dan Sekretaris DPMU harus
banyak baca dan harus rajin ikut perkembangan dunia pendidikan di luar yang
semakin pesat agar tidak memberikan pernyataan yang tidak memiliki landasan
ilmiah yang jelas”, ujar Sopacua (2/9/2023).
Ia merasa sekelas Ketua dan Sekretaris DPMU
harus memberikan statement di publik yang bisa memiliki bobot dan tidak ngaur.
“Soal pro dan kontra terhadap suatu kebijakan
tentu hal yang lumrah. Akan tetapi, statement Ketua dan Sekretaris ini mewakili
mahasiswa Unpatti. Maka dari itu, minimal memberikan pandangan-pandangan yang
berbobot. Minimal harus buat kajian dulu agar tidak asal-asalan”, pungkasnya.
Selain itu, ia menanyakan soal legalitas
mereka lantaran hingga saat ini keduanya belum dilantik. Maka dari itu, seharusnya
mereka tidak boleh berkomentar membawa nama lembaga DPMU.
Jadi, Sopacua menganggap pandangan Ketua dan
Sekretaris DPMU tersebut lebih tepat merupakan pandangan pribadi keduanya dan
bukan mewakili pandangan mahasiswa Unpatti.
Selain itu, Sopacua menganggap skripsi sudah
sangat tidak relevan lagi dengan era pendidikan saat ini. Ia menjelaskan nasib
skripsi setelah mahasiswa wisuda hanya jadi pajangan, bahkan jadi bungkusan
kacang goreng. Proses pembuatan skripsi pun mengeluarkan biaya yang besar,
ujung-ujungnya manfaatnya tidak begitu besar.
Namun, jika lewat karya lain misalkan berupa
proyek maka ini lebih bermanfaat. Bukan hanya untuk mahasiswa tersebut, tapi
juga untuk pengembangan dunia pendidikan, persiapan kerja dan juga memiliki
dampak untuk masyarakat.
“Kalau skripsi kan cuman soal tulisan ilmiah.
Coba kalau tugas akhir jadi sebuah proyek, pengabdian atau kegiatan lain yang
disesuaikan dengan disiplin ilmu masing-masing malahan kualitas mahasiswa lebih
meningkat”, jelasnya.
Mendikbudristek Nadiem Makarim (Foto: Kemendikbudristek) |
Dengan adanya kebijakan seperti ini mahasiswa bisa dibentuk untuk siap turun ke lapangan kerja bahkan bisa menciptakan lapangan kerja sendiri.
Ia mencontohkan mahasiswa Fakultas Ekonomi
dan Bisnis misalnya, jika sudah punya bisnis sendiri dengan usaha yang ia ikuti
dalam program Wirausaha Merdeka, PKM, PPK Ormawa atau sejenisnya yang didanai
pemerintah maka untuk apa lagi buat skripsi.
Toh, proyek bisnis yang mahasiswa terkait
lakukan itu sudah melalui proses seleksi hingga implementasi langsung. Dengan begitu
kualitasnya lebih tinggi daripada skripsi, maka program studi tinggal menyesuaikan
saja agar dapat merekondisi sebagai tugas akhir.
“Jadi, setelah wisuda mahasiswa terkait sudah
tidak cari pekerjaan susah-susah lagi karena telah memiliki pengalaman besar di
bidang bisnis dan memiliki usaha sendiri yang dananya didapatkan dari program
kementerian tersebut”, tambah Sopacua
Contoh lain yang Sopacua berikan misalkan
tugas akhir digantikan dengan proyek pengabdian secara berkelompok.
“Ada program penguatan kapasitas ormawa atau PPK
Ormawa. Itukan dananya besar dan kegiatan ini sudah DPM Fatek dapatkan untuk membuat
proyek pembuatan aplikasi mobile di Negeri Hatu. Misalnya saja, prodi-prodi di
Unpatti sudah mau beradaptasi dan menerima kebijakan Mas Menteri maka proyek
kami ini bisa digantikan sebagai tugas akhir”, pungkasnya.
Dalam proses membuat aplikasi ini bukan hal
yang mudah menurutnya. Butuh kolaborasi berbagai mahasiswa dari disiplin ilmu.
Jadi, kalau ada mahasiswa dari Prodi Informatika misalkan dalam proyek ini maka
untuk tugas akhir sebenarnya sudah bisa menggunakan proyek tersebut.
Jadi tidak asal membuat tugas akhir dalam
bentuk lain sesuka hati, tetapi akan diberikan standar-standar tertentu oleh
prodi.
Misalkan tugas akhir harus sesuai dengan disiplin
ilmu yang dimiliki mahasiswa. Kemudian punya kebaharuan apa, manfaatnya untuk
masyarakat seperti apa dan lain sebagainya.
Lagian kualitasnya sudah teruji langsung di
masyarakat dan hasil karyanya sudah dapat digunakan oleh masyarakat.
Selain itu, skripsi juga tidak selalu sesuai
dengan kebutuhan pasar kerja karena banyak yang terlalu teoritis dan tidak
aplikatif. Dengan tidak mewajibkan skripsi, mahasiswa dapat lebih fokus pada
mata kuliah yang relevan dengan kompetensi yang dibutuhkan di dunia kerja.
Bukan hanya Sopacua, pengurus DPM Fatek
Komisi Penalaran dan keilmuan, Oscar David Bunga merasa statement Ketua DPMU dan
Sekretaris sangat tidak sinkron.
“Kelihatannya, Ketua dan Sekretaris DPMU punya
jam terbang yang sedikit dalam mengikuti dan mengetahui program-program Kampus
Merdeka sehingga mengeluarkan pernyataan demikian”, ujarnya (2/9/2023).
Oscar mengatakan selama ia mengikuti berbagai
kegiatan MBKM ternyata memiliki banyak sekali manfaat. Bukan hanya itu berbagai
rekannya di universitas di luar sana sudah bisa merekondisi kegiatan MBKM yang
berbasis proyek sebagai tugas akhir.
Lantaran beberapa program Kampus Merdeka memiliki proyek akhir yang bisa dijadikan sebagai luaran tugas akhir untuk syarat lulus.
Menurut Oscar, skripsi seringkali tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap kualitas mahasiswa namun justru menambah beban mental.
Pasalnya,
banyak mahasiswa yang harus menunda kelulusannya akibat proses bimbingan yang
berlarut-larut dan ada pula yang sampai depresi hingga mengambil langkah tragis
karena skripsi. Ironisnya, meskipun begitu banyak upaya yang ditanamkan. Skripsi
tersebut seringkali hanya menjadi tumpukan kertas di perpustakaan atau bahkan
terbuang sia-sia.
Sebaliknya, dengan
program Merdeka Belajar yang memperbolehkan aktivitas seperti magang di
perusahaan, berpartisipasi dalam program kreativitas mahasiswa, atau meraih
prestasi di kompetisi nasional maupun internasional untuk direkondisi sebagai
skripsi akan memberikan manfaat yang jauh lebih luas. Program semacam ini tidak
hanya bermanfaat bagi mahasiswa secara pribadi, namun juga memberikan dampak
positif bagi kampus dan masyarakat umum lewat karya yang dihasilkan.
Seharusnya, kampus
lebih menghargai dan mengapresiasi prestasi dan kontribusi mahasiswa, baik itu
dalam bentuk karya ataupun pengabdian kepada masyarakat.
Karya dan kontribusi
nyata bagi masyarakat jauh lebih berharga daripada sekedar teori. Inilah yang
mendasari gagasan Bapak Nadiem Makarim dengan konsep Merdeka Belajar Kampus
Merdeka, makanya ia tidak mewajibkan skripsi.
(Ilustrasi) https://rejogja.co.id/ |
"Herannya lagi, pernyataan Sekretaris DPMU yang bilang kalau seorang sarjana harus memiliki jejak penulisan yang berkerangka ilmiah. Nah, ini pemikiran ngaur yang terpenting saat ini adalah seorang sarjana harus siap kerja dengan skill yang dimiliki. Penting yang mana, jejak penulisan kerangka ilmiah atau ketika lulus kerja anda sudah memiliki skill yang mumpuni? Skill tersebut akan ditingkatkan ketika tugas akhir dalam bentuk proyek, prototype dan bentuk lain itu” Pungkas Oscar
Nanti tergantung mekanisme prodi seperti
apa, contoh mahasiswa menawarkan tugas akhir berupa prototype yang dia tawarkan
maka tentu dari prodi akan memberikan standar-standar tertentu agar tugas
akhirnya bisa dipertanggung jawabkan. Misalkan harus dibuat artikel ilmiahnya
yang membahas prototype tersebut kemudian dipublikasi pada jurnal.
Solusi dan Kesimpulan
Terlepas dari semua itu, DPM Fatek merasa ada
beberapa masukan yang harus diberikan dalam upaya peningkatan kualitas
mahasiswa lewat kebijakan yang dibuat Mas Menteri jika diterapkan di Unpatti.
Kedua, jika ke depan kebijakan ini diterapkan
juga di Unpatti maka dalam proses pengimplementasiannya pada saat sidang tugas
akhir bukan hanya dosen
yang akan menguji, melainkan juga praktisi. Penilaian terhadap mahasiswa tidak
hanya berfokus pada jawaban yang mereka berikan, tetapi juga kualitas
komunikasi dan aspek lainnya. Ini dilakukan untuk mempersiapkan mereka sebelum
memasuki dunia kerja.
Ketiga, tugas akhir dalam bentuk lain
misalkan diterapkan di Unpatti maka diharapkan harus berfokus pada tema besar
yang berorientasi pada laut pulau. Jadi, tugas akhir ini akan menghasilkan
luaran yang bermanfaat dalam pengolahan sumber daya laut dan pesisir di Maluku.
Terakhir, tanggapan Ketua DPM Fatek Hendra Wattimena
soal kebijakan tersebut sebenarnya sudah dari lama ia kaji sebelum kebijakan
ini dikeluarkan oleh Mas Menteri. Pada Maret 2022, ia telah menulis di Kompasiana
terkait persoalan tersebut. Artikelnya bisa dibaca pada link berikut
Menurut Ketua DPM Fatek, mahasiswa lulus tanpa
skripsi bukan hal yang baru karena berbagai kampus besar di luar sana sudah
menerapkan hal tersebut demi peningkatan kualitas lulusannya.
“Unpatti harus cepat beradaptasi dengan
kebijakan seperti ini karena saya rasa soal kampus merdeka saja rupanya masih
banyak program studi yang kebingungan terkait konversi SKS dan sebagainya”,
jelasnya
Kita tidak boleh terlambat dengan perkembangan dunia pendidikan yang begitu cepat ini. Jangan sampai sudah pergantian presiden, ganti menteri nanti ganti kebijakan juga. Makanya, saya menilai unpatti masih lambat beradaptasi dengan perkembangan yang ada. Maka dari itu, ke depan harus mampu melakukan penyesuaian agar tidak tertinggal.
Posting Komentar untuk "DPM Fatek Sebut Ketua dan Sekretaris DPM Universitas Pattimura Tidak Paham Konsep Merdeka Belajar"